Posted on Februari 11, 2019 by Phil Tanis
Sebuah konsultasi mengenai Melawan Budaya Diskriminasi, Otoritarianisme dan Nasionalisme telah “memahami hal ini sebagai sebuah momen Kairos di mana Tuhan telah menyampaikan sebuah tantangan untuk tindakan tegas. Respon teologis yang tepat pada keadaan ini membutuhkan sebuah status confessionis.”
Konsultasi ini dipicu oleh munculnya ideologi rasis yang bertumbuh seiring dengan wacana-wacana nasionalis. “Faktanya adalah bahwa setiap warna agama telah mengikat diri mereka dengan ideologi dominan dan mendominasi serta memberikan dasar-dasar ideologis dari rasisme dan budaya diskriminasi lainnya,” kata Philip Vinod Peacock, Sekretaris Eksekutif WCRC untuk Kesaksian dan Keadilan.
Konsultasi ini mempertemukan masyarakat Dalit serta mereka yang merupakan keturunan Afrika di Amerika untuk berusaha memulihkan agama dari ilah kekuasaan dan hak istimewa dengan mengambil dari teologi dan ideologi yang dengan sengaja memposisikan diri di luar struktur kekuasaan tradisional.
Pertemuan ini diawali di Bangalore, di mana para peserta bersinggungan dengan kenyataan hidup masyarakat Dalit di India. Mereka mengunjungi Tambang Emas Kolar, tempat masyarakat Dalit bekerja dalam keadaan yang menyulitkan, serta sebuah komunitas masyarakat Dalit di kota itu sendiri. Dua orang aktivis Dalit, Ruth Manorama dan Alphonse G. Kennedy, memperdalam pemahaman para peserta melalui kisah-kisah perlawanan yang mereka sampaikan.
Konsultasi kemudian berpindah ke Bangkok, Thailand. Allan Boesak, melalui Skype, menyampaikan presentasi kunci, “Kemanusiaan yang Utuh membutuhkan Kebebasan: Menjadi Reformed: Mengharapkan Keadilan, Berjuang untuk Kebebasan, Berdiri dengan Martabat.”
Melalui pelajaran-pelajaran yang didapatkan dalam perjuangan melawan Aparteid di Afrika Selatan, Boesak mengatakan, “Kita sekarang dapat bicara mengenai sebuah fenomena ‘aparteid global’ yang mencangkup eksploitasi dan ketidakadilan sosio-ekonomi, isolasi politis, diskriminasi ras dan etnik, serta ketidakadilan jender dan tekanan heteronormatif.”
“Elemen yang sama dalam hal ini adalah sifat sistemik, kejam, menyeluruh, dan totaliter dari penindasan yang terjadi. … Lebih jelasnya, ‘aparteid global’ dapat dipahami sebagai perwujudan ekpresi global yang mencakup secara keseluruhan apa yang kita sebut sebagai ‘kekaisaran (empire),’ sebuah realitas yang tidak dapat lagi kita kesampingkan dalam diskusi ini.
“Sekalipun di Afrika Selatan kami dengan serius dan efektif menghadapi penyimpangan tradisi Reformed yang ditunjukkan dalam teologi aparteid, kami tidak memahami pengaruh yang begitu besar dari argumen mengenai kekaisaran, yang tidak hanya mencakup rasisme kulit putih dan serangannya terhadap kemanusiaan kulit hitam, namun juga supremasi kulit putih dan hak istimewa kulit putih sebagai fungsi yang esensial, dan sangat diperlukan dari imperialisme Kristen global yang berkulit putih,” lanjutnya.
“Bahwa tradisi Reformed telah disalahgunakan untuk membenarkan penindasan memang tidak dapat disangkal, tapi ini bukan hal yang terpenting. Yang lebih penting adalah kenyataan bahwa tradisi yang sama telah memungkinkan adanya perlawanan teologis, sosial dan politis,” katanya. “Ini menunjukkan bagaimana dan sejauh mana, tradisi Reformed, yang dipahami dengan benar, telah membantu orang-orang yang tertindas untuk mendapatkan kembali hak-hak mereka dan merangkul tugas bersejarah mereka untuk berjuang bagi kebebasan, keadilan, dan martabat.”
Berbagai presentasi disampaikan oleh Kerri Allen, Michael Blair, Iva Carruthers, Joseph Prabhakar Dayam, Aruna Gogulamanda, Nikhila Henry, Billy Michael Honor, Jayachitra Lalitha, Michael Livingston, Deenabandhu Manchala, Monica Melanchthon, Immanuel Nehemiah, Satvasheela Pandhare, Peniel Rajkumar, Vasantha Rao, Rodney Sadler, Anne Smith, Mitzi Smith, James Elisha Taneti dan Karen Georgia Thompson bersama dengan Chris Ferguson, Sekretaris Umum WCRC, dan Hanns Lessing, Sekretaris Eksekutif WCRC untuk bidang Persekutuan dan Teologi.
Masukan-masukan ini, bersama dengan pengalaman mereka di India, mengantar para peserta konsultasi untuk menyatakan, “Ketika kami membandingkan perjuangan-perjuangan untuk keadilan, kesetaraan, persamaan, dan martabat dengan latar belakang fenomena global nasionalisme yang eksklusif, menjadi jelas bahwa pandangan ini dibentuk oleh sumber-sumber kebudayaan dan agama yang berkuasa dan mendominasi. Ini termasuk politik rasa takut, xenofobia, dan kebencian, demonisasi minoritas agama dan etnis serta komunitas yang tertindas, pembatasan hak dan kebebasan demi ancaman yang dibuat-buat terhadap keamanan nasional, pengembangan kebijakan-kebijakan yang mendorong integrasi nasional dan ketidakpedulian terhadap institusi demokratis. Kami percaya bahwa hal-hal ini merupakan hal yang merugikan bukan hanya bagi mereka yang termarjinalkan namun juga bagi integritas moral dunia kita.”
“Kami menyimpulkan bahwa dehumanisasi, pencemaran nama baik, dan devaluasi dari setiap manusia adalah dosa. Sikap yang demikian bertentangan dengan iman Kristen yang mengakui bahwa setiap manusia diciptakan setara menurut rupa Allah (Kejadian 1:26-27).”
“Kami memahami iman kami sebagai penekanan bahwa kami dipanggil untuk memperlakukan seluruh umat manusia sebagai sesama sebagaimana kami ingin diperlakukan (Imamat 19:18b; 33-34), dipanggil oleh Tuhan untuk mengintervensi bagi satu sama lain ketika membutuhkan (Lukas 6:27-31), dan bahwa perlakuan kami terhadap mereka yang dianggap paling rendah di antara kami menunjukkan perjanjian Kristen kami dengan Tuhan dan dengan satu sama lain (Matius 25:31-46).”
“Dengan ini, kami menyerukan kepada World Communion of Reformed Churches untuk segera bertindak dengan menerapkan program dan memulai proses status confessionis,” sebuah permintaan yang akan ditanggapi oleh Komite Eksekutif WCRC.
Category: Berita, Slider (ID) Tags:
Copyright © 2024 · All Rights Reserved · World Communion of Reformed Churches
NonProfit Theme v4 by Organic Themes · WordPress Hosting · RSS Feed · Privacy Policy · Masuk